Ponpes Tahfidz Daarul Qur'an Seminai Siak
blog ini menjelaskan tetang agenda dan kegiatan di Pondok Pesantren Tahfidz Daarul Qur'an Seminai
Selasa, 27 Agustus 2013
Proses Pembelajaran PDTA
Para Santri/santriwati berlati menulis di ruangan kelas,,,antusias para santri dan semangat yang tampak mereka sangat memperhatikan dan melaksanakan tugas yang diberikan oleh dewan guru.....
Senin, 20 Mei 2013
Kepala Desa Seminai Memberikan Sambutan
Kepala Desa Seminai memberikan sambutan di Depan Rombongan dari Universitas Riau dalam rangka Sosialisasi di Ponpes Daarul Qur'an tentang Pengembangan Energi Bersih ICED USAID Indonesia.Harapan Kepala Desa untuk mengaplikasikan Energi Bersih dapat di kembangkan di Desa Seminai karena saat ini energi kita sangat terbatas.
Kamis, 25 April 2013
15 Langkah Effektif Menghafal Al Qur’an
Sesuatu yang paling berhak dihafal adalah Al Qur’an, karena Al Qur’an adalah Firman Allah, pedoman hidup umat Islam, sumber dari segala sumber hukum, dan bacaan yang paling sering diulang-ulang oleh manusia. Oleh Karenanya, seorang penuntut ilmu hendaknya meletakan hafalan Al Qur’an sebagai prioritas utamanya. Berkata Imam Nawawi : “ Hal Pertama (yang harus diperhatikan oleh seorang penuntut ilmu) adalah menghafal Al Quran, karena dia adalah ilmu yang terpenting, bahkan para ulama salaf tidak akan mengajarkan hadits dan fiqh kecuali bagi siapa yang telah hafal Al Quran. Kalau sudah hafal Al Quran jangan sekali- kali menyibukan diri dengan hadits dan fikih atau materi lainnya, karena akan menyebabkan hilangnya sebagian atau bahkan seluruh hafalan Al Quran. “ (Imam Nawawi, Al Majmu’,(Beirut, Dar Al Fikri, 1996) Cet. Pertama, Juz : I, hal : 66))
Di bawah ini beberapa langkah efektif untuk menghafal Al Qur’an yang disebutkan para ulama, diantaranya adalah sebagai berikut :
Langkah Pertama : Pertama kali seseorang yang ingin menghafal Al Qur’am hendaknya mengikhlaskan niatnya hanya karena Allah saja. Dengan niat ikhlas, maka Allah akan membantu anda dan menjauhkan anda dari rasa malas dan bosan. Suatu pekerjaan yang diniatkan ikhlas, biasanya akan terus dan tidak berhenti. Berbeda kalau niatnya hanya untuk mengejar materi ujian atau hanya ingin ikut perlombaan, atau karena yang lain.
Langkah Kedua : Hendaknya setelah itu, ia melakukan Sholat Hajat dengan memohon kepada Allah agar dimudahkan di dalam menghafal Al Qur’an. Waktu sholat hajat ini tidak ditentukan dan doa’anyapun diserahkan kepada masing-masing pribadi. Hal ini sebagaimana yang diriwayat Hudzaifah ra, yang berkata :
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا حزبه أمر صلى
“ Bahwasanya Rosulullah saw jika ditimpa suatu masalah beliau langsung mengerjakan sholat. “
Langkah Ketiga : Memperbanyak do’a untuk menghafal Al Qur’an.
Do’a ini memang tidak terdapat dalam hadits, akan tetapi seorang muslim bisa berdo’a menurut kemampuan dan bahasanya masing-masing. Mungkin anda bisa berdo’a seperti ini :
اللهم وفقني لحفظ القرآن الكريم ورزقني تلاوته أناء الليل وأطراف النهار على الوجه الذي يرضيك عنا يا أرحم الراحمين .
“Ya Allah berikanlah kepada saya taufik untuk bisa menghafal Al Qur’an, dan berilah saya kekuatan untuk terus membacanya siang dan malam sesuai dengan ridhal dan tuntunan-Mu , wahai Yang Maha Pengasih “.
Langkah Keempat : Menentukan salah satu metode untuk menghafal Al Qur’an. Sebenarnya banyak sekali metode yang bisa digunakan untuk menghafal Al Qur’an, Masing-masing orang akan mengambil metode yang sesuai dengan dirinya. Akan tetapi di sini hanya akan disebutkan dua metode yang sering dipakai oleh sebagian kalangan, dan terbukti sangat efektif :
Metode Pertama : Menghafal per satu halaman ( menggunakan Mushaf Madinah ). Kita membaca satu lembar yang mau kita hafal sebanyak tiga atau lima kali secara benar, setelah itu kita baru mulai menghafalnya. Setelah hafal satu lembar, baru kita pindah kepada lembaran berikutnya dengan cara yang sama. Dan jangan sampai pindah ke halaman berikutnya kecuali telah mengulangi halaman- halaman yang sudah kita hafal sebelumnya. Sebagai contoh : jika kita sudah menghafal satu lembar kemudian kita lanjutkan pada lembar ke-dua, maka sebelum menghafal halaman ke-tiga, kita harus mengulangi dua halaman sebelumnya. Kemudian sebelum menghafal halaman ke-empat, kita harus mengulangi tiga halaman yang sudah kita hafal. Kemudian sebelum meghafal halaman ke-lima, kita harus mengulangi empat halaman yang sudah kita hafal. Jadi, tiap hari kita mengulangi lima halaman : satu yang baru, empat yang lama. Jika kita ingin menghafal halaman ke-enam, maka kita harus mengulangi dulu empat halaman sebelumnya, yaitu halaman dua, tiga, empat dan lima. Untuk halaman satu kita tinggal dulu, karena sudah terulangi lima kali. Jika kita ingin menghafal halaman ke-tujuh, maka kita harus mengulangi dulu empat halaman sebelumnya, yaitu halaman tiga, empat, lima, dan enam. Untuk halaman satu dan dua kita tinggal dulu, karena sudah terulangi lima kali, dan begitu seterusnya.
Perlu diperhatikan juga, setiap kita menghafal satu halaman sebaiknya ditambah satu ayat di halaman berikutnya, agar kita bisa menyambungkan hafalan antara satu halaman dengan halaman berikutnya.
Metode Kedua : Menghafal per- ayat , yaitu membaca satu ayat yang mau kita hafal tiga atau lima kali secara benar, setelah itu, kita baru menghafal ayat tersebut. Setelah selesai, kita pindah ke ayat berikutnya dengan cara yang sama, dan begiu seterusnya sampai satu halaman. Akan tetapi sebelum pindah ke ayat berikutnya kita harus mengulangi apa yang sudah kita hafal dari ayat sebelumnya. Setelah satu halaman, maka kita mengulanginya sebagaimana yang telah diterangkan pada metode pertama.
Untuk memudahkan hafalan juga, kita bisa membagi Al Qur’an menjadi tujuh hizb ( bagian ) :
- Surat Al Baqarah sampai Surat An Nisa’
- Surat Al Maidah sampai Surat At Taubah
- Surat Yunus sampai Surat An Nahl
- Surat Al Isra’ sampai Al Furqan
- Surat As Syuara’ sampai Surat Yasin
- Surat As Shoffat sampai Surat Al Hujurat
- Surat Qaf sampai Surat An Nas
Boleh juga dimulai dari bagian terakhir yaitu dari Surat Qaf sampai Surat An Nas, kemudian masuk pada bagian ke-enam dan seterusnya.
Langkah Kelima : Memperbaiki Bacaan.
Sebelum mulai menghafal, hendaknya kita memperbaiki bacaan Al Qur’an agar sesuai dengan tajwid. Perbaikan bacaan meliputi beberapa hal, diantaranya :
a/ Memperbaiki Makhroj Huruf. Seperti huruf ( dzal) jangan dibaca ( zal ), atau huruf ( tsa) jangan dibaca ( sa’ ) sebagaimana contoh di bawah ini :
ثم —— > سم / الذين —- > الزين
b/ Memperbaiki Harakat Huruf . Seperti yang terdapat dalam ayat-ayat di bawah ini :
1/ وَإِذِ ابْتَلَىإِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمات ( البقرة : 124 ) —- > )إبراهيمُ ﴾
2/ وَكُنْت ُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا مَا دُمْتُ فِيهِمْ فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِيكُنْتَ أَنْتَ الرَّقِيبَ عَلَيْهِمْ ( المائدة : 116 )
وَكُنْت ُ < ——— > كُنْتَ
3/ أَفَمَنْ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ أَحَقُّ أَنْيتَّبَعَ أَمْ مَنْ لَا يَهِدِّي إِلَّا أَنْ يُهْدَى (ونس : 35 ) —- > أم من لا يَهْدِي
4/ رَبَّنَا أَرِنَا الَّذَيْنِ أَضَلَّانَا مِنَالْجِنِّ وَالْإِنْسِ ( فصلت :29 ) —– > الَّذِين
5/ فَكَانَ عَاقِبَتَهُمَا أَنَّهُمَا فِيالنَّارِ خَالِدَيْنِ فِيهَا وَذَلِكَ جَزَاءُ الظَّالِمِينَ ﴾ الحشر: 17) —– > خالدِين فيها
Langkah Keenam : Untuk menunjang agar bacaan baik, hendaknya hafalan yang ada, kita setorkan kepada orang lain, agar orang tersebut membenarkan jika bacaan kita salah. Kadang, ketika menghafal sendiri sering terjadi kesalahan dalam bacaan kita, karena kita tidak pernah menyetorkan hafalan kita kepada orang lain, sehingga kesalahan itu terus terbawa dalam hafalan kita, dan kita menghafalnya dengan bacaan tersebut bertahun-tahun lamanya tanpa mengetahui bahwa itu salah, sampai orang lain yang mendengarkannya akhirnya memberitahukan kesalahan tersebut.
Langkah Ketujuh : Faktor lain agar bacaan kita baik dan tidak salah, adalah memperbanyak untuk mendengar kaset-kaset bacaan Al Qur’an murattal dari syekh yang mapan dalam bacaannya. Kalu bisa, tidak hanya sekedar mendengar sambil mengerjakan pekerjaan lain, akan tetapi mendengar dengan serius dan secara teratur. Untuk diketahui, akhir-akhir ini – alhamdulillah – banyak telivisi-telelivisi parabola yang menyiarkan secara langsung pelajaran Al Qur’an murattal dari seorang syekh yang mapan, diantaranya adalah acara di televisi Iqra’ . Tiap pekan terdapat siaran langsung pelajaran Al Qur’an yang dipandu oleh Syekh Aiman Ruysdi seorang qari’ yang mapan dan masyhur, kitapun bisa menyetor bacaan kita kepada syekh ini lewat telpun. Rekaman dari acara tersebut disiarkan ulang setiap pagi. Selain itu, terdapat juga di channel ” Al Majd “, dan channel- channel televisi lainnya. Acara-acara tersebut banyak membantu kita di dalam memperbaiki bacaan Al Qur’an.
Langkah Kedelapan : Untuk menguatkan hafalan, hendaknya kita mengulangi halaman yang sudah kita hafal sesering mungkin, jangan sampai kita sudah merasa hafal satu halaman, kemudian kita tinggal hafalan tersebut dalam tempo yang lama, hal ini akan menyebabkan hilangnya hafalan tersebut. Diriwayatkan bahwa Imam Ibnu Abi Hatim, seorang ahli hadits yang hafalannya sangat terkenal dengan kuatnya hafalannya. Pada suatu ketika, ia menghafal sebuah buku dan diulanginya berkali-kali, mungkin sampai tujuh puluh kali. Kebetulan dalam rumah itu ada nenek tua. Karena seringnya dia mengulang-ulang hafalannya, sampai nenek tersebut bosan mendengarnya, kemudian nenek tersebut memanggil Ibnu Abi Hatim dan bertanya kepadanya : Wahai anak, apa sih yang sedang engkau kerjakan ? “ Saya sedang menghafal sebuah buku “ , jawabnya. Berkata nenek tersebut : “ Nggak usah seperti itu, saya saja sudah hafal buku tersebut hanya dengan mendengar hafalanmu.” . “ Kalau begitu, saya ingin mendengar hafalanmu “ kata Ibnu Abi Hatim, lalu nenek tersebut mulai mengeluarkan hafalannya. Setelah kejadian itu berlalu setahun lamanya, Ibnu Abi Hatim datang kembali kepada nenek tersebut dan meminta agar nenek tersebut menngulangi hafalan yang sudah dihafalnya setahun yang lalu, ternyata nenek tersebut sudah tidak hafal sama sekali tentang buku tersebut, dan sebaliknya Ibnu Abi Hatim, tidak ada satupun hafalannya yang lupa. Cerita ini menunjukkan bahwa mengulang-ulang hafalan sangatlah penting. Barangkali kalau sekedar menghafal banyak orang yang bisa melakukannya dengan cepat, sebagaimana nenek tadi. Bahkan kita sering mendengar seseorang bisa menghafal Al Qur’an dalam hitungan minggu atau hitungan bulan, dan hal itu tidak terlalu sulit, akan tetapi yang sulit adalah menjaga hafalan dan mengulanginya secara kontinu.
Langkah Kesembilan : Faktor lain yang menguatkan hafalan adalah menggunakan seluruh panca indra yang kita miliki. Maksudnya kita menghafal bukan hanya dengan mata saja, akan tetapi dibarengi dengan membacanya dengan mulut kita, dan kalau perlu kita lanjutkan dengan menulisnya ke dalam buku atau papan tulis. Ini sangat membantu hafalan seseorang. Ada beberapa teman dari Marokko yang menceritakan bahwa cara menghafal Al Qur’an yang diterapkan di sebagian daerah di Marokko adalah dengan menuliskan hafalannya di atas papan kecil yang dipegang oleh masing-masing murid, setelah mereka bisa menghafalnya di luar kepala, baru tulisan tersebut dicuci dengan air.
Langkah Kesepuluh : Menghafal kepada seorang guru.
Menghafal Al Qur’an kepada seorang guru yang ahli dan mapan dalam Al Qur’an adalah sangat diperlukan agar seseorang bisa menghafal dengan baik dan benar. Rosulullah saw sendiri menghafal Al Qur’an dengan Jibril as, dan mengulanginya pada bulan Ramadlan sampai dua kali katam.
Langkah Kesebelas : Menggunakan satu jenis mushaf Al Qur’an dan jangan sekali-kali pindah dari satu jenis mushaf kepada yang lainnya.Karena mata kita akan ikut menghafal apa yang kita lihat. Jika kita melihat satu ayat lebih dari satu posisi, jelas itu akan mengaburkan hafalan kita. Masalah ini, sudah dihimbau oleh salah seorang penyair dalam tulisannya :
العين تحفظ قبل الأذن ما تبصر فاختر لنفسك مصحف عمرك الباقي .
“ Mata akan menghafal apa yang dilihatnya- sebelum telinga- , maka pilihlah satu mushaf untuk anda selama hidupmu.”
Yang dimaksud jenis mushaf di sini adalah model penulisan mushaf. Di sana ada beberapa model penulisan mushaf, diantaranya adalah : Mushaf Madinah atau terkenal dengan Al Qur’an pojok, satu juz dari mushaf ini terdiri dari 10 lembar, 20 halaman, 8 hizb, dan setiap halaman dimulai dengan ayat baru. Mushaf Madinah ( Mushaf Pojok ) ini paling banyak dipakai oleh para pengahafal Al Qur’an, banyak dibagi-bagikan oleh pemerintah Saudi kepada para jama’ah haji. Cetakan-cetakan Al Qur’an sekarang merujuk kepada model mushaf seperti ini. Dan bentuk mushaf seperti ini paling baik untuk dipakai menghafal Al Qur’an.
Di sana ada model lain, seperti mushaf Al Qur’an yang dipakai oleh sebagian orang Mesir, ada juga mushaf yang dipakai oleh sebagain orang Pakistan dan India, bahkan ada model mushaf yang dipakai oleh sebagian pondok pesantren tahfidh Al Qur’an di Indonesia yang dicetak oleh Manar Qudus , Demak.
Langkah Keduabelas : Pilihlah waktu yang tepat untuk menghafal, dan ini tergantung kepada pribadi masing-masing. Akan tetapi dalam suatu hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, disebutkan bahwasanya Rosulullah saw bersabda :
إن الدين يسر ، ولن يشاد الدين أحد إلا غلبه ، فسددوا وقاربوا و أبشروا ، واستعينوا بالغدوة والروحة وشئ من الدلجة
“ Sesungguhnya agama ini mudah, dan tidak ada yang mempersulit diri dalam agama ini kecuali dia akan capai sendiri, makanya amalkan agama ini dengan benar, pelan-pelan, dan berilah kabar gembira, serta gunakan waktu pagi, siang dan malam ( untuk mengerjakannya ) “ ( HR Bukhari )
Dalam hadist di atas disebutkan waktu pagi ,siang dan malam, artinya kita bisa menggunakan waktu-waktu tersebut untuk menghafal Al Qur’an. Sebagai contoh : di pagi hari, sehabis sholat subuh sampai terbitnya matahari, bisa kita gunakan untuk menghafal Al Qur’an atau untuk mengulangi hafalan tersebut, waktu siang siang, habis sholat dluhur, waktu sore habis sholat Ashar, waktu malam habis sholat Isya’ atau ketika melakukan sholat tahajud dan seterusnya.
Langkah Ketigabelas : Salah satu waktu yang sangat tepat untuk melakukan pengulangan hafalan adalah waktu ketika sedang mengerjakan sholat –sholat sunnah, baik di masjid maupun di rumah. Hal ini dikarenakan waktu sholat, seseorang sedang konsentrasi menghadap Allah, dan konsentrasi inilah yang membantu kita dalam mengulangi hafalan. Berbeda ketika di luar sholat, seseorang cenderung untuk bosan berada dalam satu posisi, ia ingin selalu bergerak, kadang matanya menengok kanan atau kiri, atau kepalanya akan menengok ketika ada sesuatu yang menarik, atau bahkan kawannya akan menghampirinya dan mengajaknya ngobrol . Berbeda kalau seseorang sedang sholat, kawannya yang punya kepentingan kepadanya-pun terpaksa harus menunggu selesainya sholat dan tidak berani mendekatinya, dan begitu seterusnya.
Langkah Keempatbelas : Salah satu faktor yang mendukung hafalan adalah memperhatikan ayat-ayat yang serupa (mutasyabih) . Biasanya seseorang yang tidak memperhatikan ayat-ayat yang serupa ( mutasyabih ), hafalannya akan tumpang tindih antara satu dengan lainnya. Ayat yang ada di juz lima umpamanya akan terbawa ke juz sepuluh. Ayat yang mestinya ada di surat Surat Al-Maidah akan terbawa ke surat Al-Baqarah, dan begitu seterusnya. Di bawah ini ada beberapa contoh ayat-ayat serupa ( mutasyabihah ) yang seseorang sering melakukan kesalahan ketika menghafalnya :
- ﴿ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ ﴾ البقرة 173 < ———— > ﴿ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ) المائدة 3 ، والأنعام 145، و النحل 115
- ( ذلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّين بغير الحق ) البقرة : 61
( إن الذين يكفرون بآيات اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّين بغير حق ) آل عمران : 21
( ذلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ الأنبياء بغير حق ) آل عمرن : 112
Untuk melihat ayat –ayat mutasyabihat seperti ini secara lebih lengkap bisa dirujuk buku – buku berikut :
- Duurat At Tanzil wa Ghurrat At Ta’wil fi Bayan Al Ayat Al Mutasyabihat min Kitabillahi Al Aziz , karya Al Khatib Al Kafi.
- Asrar At Tikrar fi Al Qur’an, karya : Mahmud bin Hamzah Al Kirmany.
- Mutasyabihat Al Qur’an, Abul Husain bin Al Munady
- ‘Aunu Ar Rahman fi Hifdhi Al Qur’an, karya Abu Dzar Al Qalamuni
Langkah Kelimabelas : Setelah hafal Al Qur’an, jangan sampai ditinggal begitu saja. Banyak dari teman-teman yang sudah menamatkan Al Qur’an di salah satu pondok pesantren, setelah keluar dan sibuk dengan studinya yang lebih tinggi, atau setelah menikah atau sudah sibuk pada suatu pekerjaan, dia tidak lagi mempunyai program untuk menjaga hafalannya kembali, sehingga Al-Qur’an yang sudah dihafalnya beberapa tahun di pesantren akhirnya hanya tinggal kenangan saja. Setelah ditinggal lama dan sibuk dengan urusannya, ia merasa berat untuk mengembalikan hafalannya lagi. Fenomena seperti sangat banyak terjadi dan hal itu sangat disayangkan sekali. Boleh jadi, ia mendapatkan ijazah sebagai seorang yang bergelar ” hafidh ” atau ” hafidhah “, akan tetapi jika ditanya tentang hafalan Al- Qur’an, maka jawabannya adalah nihil.
Yang paling penting dalam hal ini bukanlah menghafal, karena banyak orang bisa menghafal Al Qur’an dalam waktu yang sangat singkat, akan tetapi yang paling penting adalah bagaimana kita menjaga hafalan tersebut agar tetap terus ada dalam dada kita. Di sinilah letak perbedaan antara orang yang benar-benar istiqamah dengan orang yang hanya rajin pada awalnya saja. Karena, untuk menjaga hafalan Al Qur’an diperlukan kemauan yang kuat dan istiqamah yang tinggi. Dia harus meluangkan waktunya setiap hari untuk mengulangi hafalannya. Banyak cara untuk menjaga hafalan Al Qur’an, masing-masing tentunya memilih yang terbaik untuknya. Diantara cara untuk menjaga hafalan Al Qur’an adalah sebagai berikut :
- Mengulangi hafalan menurut waktu sholat lima waktu. Seorang muslim tentunya tidak pernah meninggalkan sholat lima waktu, hal ini hendaknya dimanfaatkan untuk mengulangi hafalannya. Agar terasa lebih ringan, hendaknya setiap sholat dibagi menjadi dua bagian, sebelum sholat dan sesudahnya. Sebelum sholat umpamanya :i sebelum adzan, dan waktu antara adzan dan iqamah. Apabila dia termasuk orang yang rajin ke masjid, sebaiknya pergi ke masjid sebelum adzan agar waktu untuk mengulangi hafalannya lebih panjang. Kemudian setelah sholat, yaitu setelah membaca dzikir ba’da sholat atau dzikir pagi pada sholat shubuh dan setelah dzkir sore setelah sholat Ashar. Seandainya saja, ia mampu mengulangi hafalannya sebelum sholat sebanyak seperempat juz dan sesudah sholat seperempat juz juga, maka dalam satu hari dia bisa mengulangi hafalannya sebanyak dua juz setengah. Kalau bisa istiqamah seperti ini, maka dia bisa menghatamkan hafalannya setiap dua belas hari, tanpa menyita waktunya sama sekali. Kalau dia bisa menyempurnakan setengah juz setiap hari pada sholat malam atau sholat-sholat sunnah lainnya, berarti dia bisa menyelesaikan setiap harinya tiga juz, dan bisa menghatamkan Al Qur’an pada setiap sepuluh hari sekali. Banyak para ulama dahulu yang menghatamkan hafalannya setiap sepuluh hari sekali.
- Ada sebagian orang yang mengulangi hafalannya pada malam saja, yaitu ketika ia mengerjakan sholat tahajud. Biasanya dia menghabiskan sholat tahajudnya selama dua jam. Cuma kita tidak tahu, selama dua jam itu berapa juz yang ia dapatkan. Menurut ukuran umum, kalau hafalannya lancar, biasanya ia bisa menyelesaikan satu juz dalam waktu setengah jam. Berarti, selama dua jam dia bisa menyelesaikan dua sampai tiga juz dengan dikurangi waktu sujud dan ruku.
- Ada juga sebagian teman yang mengulangi hafalannya dengan cara masuk dalam halaqah para penghafal Al Qur’an. Kalau halaqah tersebut berkumpul setiap tiga hari sekali, dan setiap peserta wajib menyetor hafalannya kepada temannya lima juz berarti masing-masing dari peserta mampu menghatamkan Al Qur’an setiap lima belas hari sekali. Inipun hanya bisa terlaksana jika masig-masing dari peserta mengulangi hafalannya sendiri-sendiri dahulu.
Referensi:
- Hadist riwayat Abu Daud ( no : 1319 ), dishohihkan oleh Syekh Al Bani dalam Shohih Sunan Abu Daud , juz I, hal. 361
- Untuk mengetahui secara lebih lengkap tentang derajat hadits tersebut bisa dirujuk : Abu Umar Abdullah bin Muhammad Al Hamadi, Al Asinatu Al Musyri’atu fi At Tahdhir min As Solawat Al Mubtadi’ah, ( Kairo, Maktabah At Tabi’in, 2002 ) Cet Pertama, hal. 97 -120
- Ibid, hal.21-39
- Abu Abdur Rahman Al Baz Taufiq, Ashal Nidham Li Hifdhi Al Qur’an, ( Kairo, Maktabah Al Islamiyah, 2002 ) Cet. Ke-Tiga, Hal. 13
- Ali bin Umar Badhdah, Kaifa Tahfadu Al Qur’an, hal. 6
- Ibid. hal 12
- Abu Dzar Al Qalamuni, ‘Aunu Ar Rahman fi Hifdhi Al Qur’an, ( Kairo, Dar Ibnu Al Haitsam, 1998 ) Cet Pertama, hal.16
- Abu Abdur Rahman Al Baz Taufiq, Op. Cit, Hal. 15
- Imam Nawawi, Al Majmu’,( Beirut, Dar Al Fikri, 1996 ) Cet. Pertama, Juz : I, hal : 66
Rabu, 24 April 2013
Menuntut Ilmu Menurut Perspektif Islam
Firman Allah S.W.T yang bermaksud: “Katakanlah: Adakah sama orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu”. (Az-Zumar:9)..
Kedatangan Islam membawa gesaan menuntut, menyebar dan memuliakan ilmu. Wahyu yang pertama iaitu ayat 1-5 surah Al-‘Alaq dengan jelas mewajibkan pencarian ilmu. Oleh itu agama Islam ini dapatlah dikatakan sebagai tertegak atas dasar ilmu atau pengetahuan. Tanpa ilmu dan pengetahuan kita tidak akan dapat mengenal Khaliq dan seterusnya tidak dapat berbakti kepadaNya. Perkataan “ilmu” disebut kira-kira 750 kali dalam Al-Qur’an melalui berbagai bentuk (Muhammad Dawilah,1993:9). Orang yang berilmu diberikan pujian dan dipandang mulia di sisi Islam. Hal ini dapat kita lihat melalui banyak ayat Al-Qur’an antaranya,
Firman Allah S.W.T yang bermaksud:
“Katakanlah: Adakah sama orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu”. (Az-Zumar:9)
Firman Allah S.W.T maksudnya:
“Allah memberikan hikmah (ilmu pengetahuan) kepada sesiapa yang dikehendakiNya dan orang-orang yang diberikan ilmu pengetahuan beerti ia telah diberikan kebaikan yang banyak”. (Al-Baqarah:269)
Firman-Nya lagi maksudnya:
“Hanya sanya orang yang takut kepada Allah ialah orang yang berilmu”. (Al-Faatir:28)
Konsep Ilmu
Konsep ilmu dalam Islam merujuk kepada hakikat bahawa Allah S.W.T sebagai pemilik mutlak ilmu. Manusia hanya diberikan sedikit sahaja ilmu. Namun begitu ilmu yang sedikit sangat bermakna di sisi Allah jika ianya digunakan sebaik mungkin iaitu sehingga membawa kepada keimanan yang kukuh terhadap Allah serta mengikut perintah dan menjauhi laranganNya. Ilmu mesti dipelajari dan dikembangkan berdasarkan asas-asas tauhid dan disertakan integrasi iman, kemanfaatan ilmu, amalan yang soleh dan akhlak yang mulia (Mohd. Kamal Hassan, 1998:19).
Dasar ini jelas melalui wahyu pertama iaitu surah Al-‘Alaq yang menyatukan antara tauhid (melalui sifat al-Khaliq mutlak) dengan ilmu (Muhammad Dawilah,1993:9). Semua pancaindera zahir dan batin yang dijadikan oleh Allah adalah bermatlamatkan pencarian ilmu yang benar. Lantaran itu manusia yang tidak menggunakan pancaindera tersebut untuk mendapatkan ilmu yang benar akan dikutuk. Hal ini jelas melalui firman Allah S.W.T,
“Sesungguhnya Kami jadikan untuk neraka Jahannam kebanyakkan Jin dan manusia, bagi mereka ada jantung hati (tetapi) tidak mengerti dengannya, dan bagi mereka ada mata (tetapi) tidak melihat dengannya, dan bgai mereka ada telinga (tetapi) tidak mendengar dengannya. Mereka itu seperti binatang ternakan, bahkan mereka lebih sesat. Mereka itulah orang-orang yang lengah.” (Al-‘Alaq:179)
Hukum Menuntut Ilmu
“Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina”. (Al-Hadis)
Kadang-kadang kita lupa untuk apa sebenarnya kita menuntut ilmu, dan kita juga lupa apa hukumnya menuntut ilmu dalam agama Islam. Dalam hal tersebut, saya ingin mengingatkan kembali untuk apa sebenarnya, dan apa hukumnya kita menuntut ilmu dalam agama Islam. Hal tersebut ada dinyatakan di dalam buku “Ilmu Fiqih Islam” karangan Drs. H. Moh. Rifai.
Apabila kita memperhatikan isi Al-Qur’an dan Al-Hadis, terdapat beberapa suruhan yang mewajibkan bagi setiap muslim baik laki-laki mahupun perempuan, untuk menuntut ilmu, agar tergolong menjadi umat yang cerdas, jauh dari kabut kejahilan dan kebodohan. Menuntut ilmu artinya berusaha dengan jalan menanya, melihat atau mendengar. Perintah kewajiban menuntut ilmu terdapat dalam hadis Nabi Muhammad S.A.W. yang bermaksud;
“Menuntut ilmu adalah fardhu bagi tiap-tiap Muslim, baik laki-kali mahupun perempuan.” (HR. Ibn Abdulbari)
“Menuntut ilmu adalah fardhu bagi tiap-tiap Muslim, baik laki-kali mahupun perempuan.” (HR. Ibn Abdulbari)
Dari hadis ini kita memperoleh pengertian bahawa Islam mewajibkan pemeluknya agar menjadi orang yang berilmu, berpengetahuan, mengetahui segala kemaslahatan dan jalan kemanfaatan; menyelami hakikat alam, dapat meninjau dan menganalisis segala pengalaman yang didapati oleh umat yang lalu, baik yang berhubungan dengan ‘aqidah dan ibadat, serta hubungannya dengan soal-soal keduniaan dan segala keperluan hidup.
Nabi Muhammad S.A.W. bersabda:
“Barangsiapa menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmunya; dan barangsiapa yang ingin (selamat dan berbahagia) di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmunya pula; dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duannya pula.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Islam mewajibkan kita menuntut ilmu-ilmu dunia yang memberi manfaat dan berguna untuk kita dalam hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan kita di dunia, agar tiap-tiap muslim tidak dikategorikan sebagai terkebelakang dan agar setiap muslim dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang dapat membawa kemajuan bagi penghuni dunia ini dalam batas-batas yang diredhai Allah swt. Demikian pula Islam mewajibkan kita menuntut ilmu-ilmu deenul Islam agar menghasilkan natijah yang sempurna, amalan yang dilakukan sesuai dan selaras dengan perintah-perintah syara’. Hukum wajibnya perintah menuntut ilmu itu adakalanya wajib ‘ain dan adakalanya wajib kifayah.
Islam mewajibkan kita menuntut ilmu-ilmu dunia yang memberi manfaat dan berguna untuk kita dalam hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan kita di dunia, agar tiap-tiap muslim tidak dikategorikan sebagai terkebelakang dan agar setiap muslim dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang dapat membawa kemajuan bagi penghuni dunia ini dalam batas-batas yang diredhai Allah swt. Demikian pula Islam mewajibkan kita menuntut ilmu-ilmu deenul Islam agar menghasilkan natijah yang sempurna, amalan yang dilakukan sesuai dan selaras dengan perintah-perintah syara’. Hukum wajibnya perintah menuntut ilmu itu adakalanya wajib ‘ain dan adakalanya wajib kifayah.
Pembahagiaan Ilmu
Syari’ah Islam menggariskan dua bahagian besar ilmu iaitu ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Fardhu ‘ain dirujuk kepada ilmu yang wajib diketahui oleh setiap orang “mukallaf” atau yang sudah diberi pertanggungjawaban dalam Islam. Fardhu kifayah pula ialah ilmu yang diwajibkan ke atas sebahagian umat Islam untuk menguasainya dan jika terdapat sebahagian yang sudah menguasainya maka terlepaslah kewajipan umat Islam yang lain daripada bebanan wajibnya.
Ilmu fardhu ‘ain boleh dibahgikan kepada empat bahagian iaitu ilmu yang berkaitan rukun iman, yang berkaitan dengan hukum hakam, yang berkaitan dengan perkara-perkara yang diharamkan dan yang berkaitan dengan pergaulan dan muamalah seharian (Amir A. Rahman, 1991:110-111). Fardhu kifayah pula ialah bidang ilmu yang luas dan sering berjalan seiring dengan perkembangan zaman. Sebahagian umat Islam diwajibkan untuk mengetahuinya agar tidak memberikan kesan buruk kepada Islam yang mungkin menghadapi ketinggalan dalam bidang kebendaan serta terancam keselamatannya.
Ilmu yang wajib ‘ain dipelajari oleh mukallaf iaitu yang perlu diketahui untuk meluruskan ‘aqidah yang wajib dipercayai oleh seluruh muslimin; dan yang perlu diketahui untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang difardhukan atasnya, seperti shalat, puasa, zakat dan haji.
Di samping itu perlu dipelajari ilmu akhlak untuk mengetahui adab sopan santun yang perlu kita laksanakan dan tingkah laku yang harus kita tinggalkan. Di samping itu harus pula mengetahui kepandaian dan keterampilan yang menjadi tonggak hidupnya. Adapun pekerjaan-pekerjaan yang tidak dikerjakan sehari-hari maka diwajibkan mempelajarinya kalau dikehendaki akan melaksanakannya, seperti seseorang yang hendak memasuki alam rumah tannga seperti syarat-syarat dan rukun-rukunnya dan segala yang diharamkan dan dihalalkan dalam menggauli isterinya.
Sumber Ilmu
Kebanyakkan manusia mengagungkan akal sebagai punca ilmu yang tidak terbatas. Mereka mletakkan akal sebagai pembeza utama dalam apa hal sekalipun. Keadaan ini menyebabkan ramai manusia yang sesat dan menyesatkan seperti yang berlaku pada zaman Greek purba yang mencari Tuhan dengan semata-mata menggunakan akal. Islam meletakkan sumber ilmu yang jelas dan tersusun rapi serta terjamin kesahihan dan ketekalannya. Al-Qur’an dan Sunnah adalah dua sumber utama ilmu dalam Islam. Kedua-duanya dirujuk sebagai sumber “wahyu”. Selepas itu barulah akal diletakkan sebagai antara sumber ilmu dan masih lagi di bawah naungan wahyu (Hassan Langgulung, 1981:28). Bertepatan dengan fakta tersebut, Mohd. Kamal Hassan (1988:25) menjelaskan punca ilmu dalam Islam terbahagi kepada dua iaitu Naqli atau Revealed Knowledge (Wahyu) dan ‘Aqli atau Acquired Knowledge (akal). Firman Allah S.W.T maksudnya:
“Sebagaimana Kami telah mengutuskan seorang Rasul kepadamu, iaitu salah seorang di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepadamu, membersihkan kamu (daripada kelakuan yang tidak baik) dan mengajarkan Kitab dan hikmah kepadamu dan lagi mengajarkan apa-apa yang belum kamu ketahui.” (Al-Baqarah:151)
Objektif Ilmu
Tujuan menuntut ilmu bukanlah bermatlamat ilmu semata-mata tetapi ia merupakan wasilah (jalan) untuk memahami dan menguasainya bagi melaksanakan ubudiyyah kepada Allah S.W.T. Tujuan menuntut ilmu juga adalah untuk melaksanakan petunjuk Allah S.W.T. sebab itulah menuntut ilmu adalah fardhu bagi setiap muslim, sebagaimana sabda Rasulullah S.A.W. yang bermaksud;
“Menuntut ilmu adalah fardhu bagi setiap muslimin dan muslimat”.
Antara lain tujuan menuntut ilmu ialah untuk membina kekuatan ummah Islam dan untuk mencari kemaslahatan masyarakat manusia. Membina kekuatan umat merupakan salah satu tanggungjawab para penuntut kerana merekalah bakal pemimpin di masa depan. Oleh yang demikian, kemaslahatan ummah banyak bergantung kepada pemimpin dan kepimpinannya.
Antara lain tujuan menuntut ilmu ialah untuk membina kekuatan ummah Islam dan untuk mencari kemaslahatan masyarakat manusia. Membina kekuatan umat merupakan salah satu tanggungjawab para penuntut kerana merekalah bakal pemimpin di masa depan. Oleh yang demikian, kemaslahatan ummah banyak bergantung kepada pemimpin dan kepimpinannya.
Moga-moga dengan tujuan yang suci dan bersih ini dapat melahirkan para ilmuan yang membangunkan muka bumi ini menurut apa yang telah digariskan oleh Allah S.W.T. Ini bermakna menuntut ilmu di dalam Islam bukanlah sekadar mencari habuan dunia, wang ringgit dan harta benda akan tetapi ianya merupakan suatu usaha untuk melengkapkan diri sebagai hamba Allah dan khalifah Allah S.W.T. di muka bumi ini . Para ilmuan Islam mestilah memahami bahawa mereka wajib memainkan peranan untuk menegakkan kebenaran, keadilan dan keamanan sejagat iaitu dengan cara mengembalikan sistem Islam memerintah alam ini. Para ilmuan Islam juga perlu berusaha sedaya upaya mungkin menjadikan diri mereka sebagai pekerja Islam dan penda’wah ke arah melahirkan ummah Islam yang iltizam dengan Islam dalam segenap aspek kehidupan. Allah S.W.T. berfirman dalam Al-Qur’an yang bermaksud;
“Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya..” (Al-Baqarah:208)
Para ilmuan Islam juga sama sekali tidak boleh lupa bahawasanya antara tugas seorang muslim itu ialah menegakkan yang ma’ruf iaitu mengajak manusia menegakkan dan mendaulatkan ajaran Allah S.W.T. dan mencegah kemungkaran iaitu melarang manusia dari melakukan larangan Allah S.W.T. dari sekecil-kecil perkara sehinggalah sebesar-besar perkara.
Sabba Rasulullah S.A.W. yang bermaksud;
“Sesiapa yang melihat kemungkaran hendaklah ia cegah dengan tangannya (kuasa), sekiranya tidak mampu cegahlah ia dengan lisan seandainya tidak mampu juga; cegahlah ia dengan hati itu yang paling lemah imannya.”
Sehubungan dengan itu Allah S.W.T. berfirman yang bermaksud;
” Wahai rasul, sampaikanlah apa-apa yang diturunkan kepada kamu dari Rabb kamu. Dan jika kamu tidak mengerjakannya maka tidaklah kamu menyampaikan risalahNya. Allah memelihara kamu daripada manusia, sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”. (Al-Maidah:67)
Sehubungan dengan itu Allah S.W.T. berfirman yang bermaksud;
Diperintah oleh agama, sungguh tidak disangkal lagi, bahawa mengajar adalah suatu pekerjaan yang seutama-utamanya. Nabi diutus ke dunia inipun dengan tugas mengajar, sebagaimana sabdanya;
” Aku diutus ini, untuk menjadi pengajar.” (HR.Baihaqi)
Sekiranya Allah tidak membangkitkan Rasul untuk menjadi guru manusia, guru dunia, tentulah manusia tinggal dalam kebodohan sepanjang masa. Walaupun akal dan otak manusia mungkin menghasilkan berbagai ilmu pengetahuan, namun masih ada juga hal-hal yang tidak dapat dijangkaunya, iaitu hal-hal yang di luar akal manusia. Untuk itulah Rasul Allah dibangkitkan di dunia ini. Mengingat pentingnya penyebaran ilmu pengetahuan kepada manusia/masyarakat secara luas agar mereka tidak dalam kebodohon dan kegelapan, maka diperlukan kesedaran bagi para mualim, guru dan ulama, untuk beriringan tangan menuntun mereka menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Bagi para guru dan ulama yang suka menyembunyikan ilmunya, mereka mendapat ancaman, sebagaimana sabda Nabi S.A.W.;
“Barangsiapa ditanya tentang sesuatu ilmu, kemudian menyembunyikan (tidak mahu memberikan jawapannya), maka Allah akan mengekangkan (mulutnya), kelak di hari kiamat dengan kekangan (kendali) dari api neraka.” (HR Ahmad)
“Barangsiapa ditanya tentang sesuatu ilmu, kemudian menyembunyikan (tidak mahu memberikan jawapannya), maka Allah akan mengekangkan (mulutnya), kelak di hari kiamat dengan kekangan (kendali) dari api neraka.” (HR Ahmad)
Marilah kita menuntut ilmu pengetahuan sesempat mungkin dengan tidak ada hentinya tanpa menguzurkan diri sampai ke liang kubur, dengan ikhlas dan tekad mengamalkan dan menyumbangkannya kepada masyarakat, agar kita semua dapat mengenyam hasil dan buahnya di akhirat nant
Senin, 22 April 2013
Syair-Syair Hikmah KH Wahid Hasyim (1)
KH Abdul Wahid Hasyim termasuk tokoh yang gemar mencatat. Tak heran, sejumlah pantun dan sajak kesukaannya dalam berbagai bahasa tetap tersimpan rapi hingga sekarang. Beberapa syair hikmah berbahasa Arab berikut adalah sebagain warisan berharga dari ulama dan pahlawan nasional ini.
وَلَا شَيْءٌ يَدُوْمُ فَكُنْ حَدِيْثاً # جَمِيْلَ الذّكْرِ فَالدُّنْيَا حَدِيْثُ
Tak ada satu pun di dunia ini yang kekal. Maka, ukirlah cerita indah sebagai kenangan. Karena dunia memang sebuah ceritaأَلَا لِيَقُلْ مَا شَاءَ مَنْ شَاءَ إِنّماَ # يُلاَمُ الفَتىَ فِيْمَا اسْتَطَاعَ مِنَ اْلأَمْرِ
Ungkapkanlah apa yang ingin diungkapkan. (Jangan ragu) pemuda memang selalu dicemooh lantaran kecakapannya.
ذَرِيْنِيْ أَنَالُ مَا لَا يُناَلُ مِنَ اْلعُلَى # فَصَعْبُ العُلىَ فِي الصَّعْبِ وَالسَّهْلُ فِي السَّهْلِ
تُرِيْدِيْنَ إِدْرَاكَ المَعَالِي رَخِيْصَةً # فَلَا بُدَّ دُوْنَ الشَّهْدِ مِنْ إِبَرِ النَّحْلِ
Biarkan aku meraih kemuliaan yang belum tergapai. Derajat kemuliaan itu mengikuti kadar kemudahan dan kesulitannya. Engkau kerap ingin mendapatkan kemuliaan itu secara murah. Padahal pengambil madu harus merasakan sengatan lebah.
سَتُبْدِيْ لَكَ الأَيَّامُ مَا كُنْتَ جاَهِلاً # وَيَأْتِيْكَ بِاْلأَخْبَارِ مَا لَمْ تُزَوِّدِ
Kelak waktu akan memperlihatkan dirimu sebagai orang yang bodoh, dan membawakan kabar untukmu tentang perbekalan yang kosong.
لَقَدْ غَرَسُوْا حَتَّى أَكَلْناَ وَإِنَّناَ # لَنَغْرَسُوْا حَتَّى يَأْكُلَ النَّاسُ بَعْدَنَا
Para pendahulu telah menanam sehingga kita memakan buahnya. Sekarang kita juga menanam agar generasi mendatang memakan hasilnya.
إِذَا فَاتَنِيْ يَوْمٌ وَلَمْ أَصْطَنِعْ يَدًا # وَلَمْ أَكْتَسِبْ عِلْماً فَمَاذَاكَ مِنْ عُمْرِيْ
Tatkala waktuku habis tanpa karya dan pengetahuan, lantas apa makna umurku ini?
Dua Rakaat Sebelum Subuh Mengalahkan Dunia Seisinya
Dua rakaat sebelum shalat subuh sangat dianjurkan oleh Rasulullah saw. Nilai dua rakaat (sebelum subuh) ini, sebagaimana pesan Rasulullah saw lebih baik dari pada jagad seisinya.
ركعتا الفجر خير من الدنيا وما فيها
Dua rakaat shalat fajar lebih baik dari dunia seisinya.
Banyak sekali istilah yang digunakan untuk menunjukan dua rakaat sebelum shubuh. Dari redaksi hadits tersebut sebagian ulama mengatakannya shalat sunnah fajar. Adapula yang menamainya sebagai shalat sunnah subuh karena dilakukan sesebelum shalat subun. Ada pula yang mengatakan shalatsunnah barad mungkin karena dilaksanakan ketika hari masih dingin. Ada pula yang menamakan shalat sunnah ghadat yaitu shalat sunnah yang dilakukan pagi-pagi sekali.
Oleh karena itu dalam Nihayatuz Zain, Syaikh Nawawi memperbolehkan niat shalat dua rakaat subuh ini dengan berbagai macam istilah tersebut. Misalkan ushalli sunnatal fajri rok’ataini ada’an lillahi ta’ala. Atau boleh juga ushalli sunnatal barodi rok’ataini ada’an lillahi ta’ala sunnatas subhi, dan seterusnya. Atau boleh juga yang lebih lengkap adalah
اُصَلِّيْ سُنَّةَ الصُّبْحِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ اْلقِبْلَةِ اَدَاءً لِلَّهِ تَعَالَى
Usholli sunnatas shubhi rok'ataini mustaqbilal qiblati adaa-an lillaahi ta'aala.
Di samping itu yang harus diperhatikan adalah anjuran untuk tidak berlama-lama dalam shalat, mengingat predikat shalat ini adalah shalat sunnah. Walaupun nilainya lebih berharga daripada dunia seisinya.
Selain itu alasan kebergegasan dua rakaat ini adalah mengikuti Rasulullah saw (liitba’I sunnatir rasul) yang cukup membaca surat al-Kafirun dalam rakaat pertama (setelah al-fatihah) dan al-Ikhlash (setelah al-fatihah)pada rakaat kedua. Atau membaca Alam Nasyrakh (surat al-Insyirakh) pada rakaat pertama dan Alam Taro (Surah al-Fiil) pada rakaat ke dua.
Secara praktis, tersebut pula dalam Nihayatuz zain anjuran untuk membaca wirid khusus setelah dua rakaat sambil menunggu shalat subuh. Bacaan itu adalah (1) Ya Hayyu Ya Qayyum La Ilaha Illa anta, 40 kali. (2) Surat Al-Ikhlas, 11 kali (3) Surat Al-Falaq, 1 kali (4) Surat An-Nas, 1 kali dan (5) Subhanallah wa Bihamdihi, Subhanallahil Adhim, Asytaghfirullah, 100 kali.
Demikianlah keterangan dua rakaat sebelum shalat subuh yang menurut sebagian ulama dikategorikan sebagai rawatib (sebagaimana shalat qabliyah lainnya) yang dilaksanakan sebelum shalat subuh.
Langganan:
Postingan (Atom)